Sabtu, 05 Januari 2013

Black Market



 1.1 KONSEP BLACK MARKET
a.      Pengertian Black Market
            Black Market ( BM ) sesuai istilah yang jamak dipakai dalam hukum positif dan transaksi-jual beli kontemporer artinya adalah perdagangan illegal, perdagangan tidak resmi, perdagangan yang dilakukan di luar jalur resmi dengan sebab melanggar hukum suatu negara. Perdagangan yang diperbolehkan berlaku di wilayah hukum Indonesia adalah perdagangan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum.
“Black Market is The Illegal free market which flourishes in economies where consumer goods are scarce or are heavily taxed. In the first kind, black market prices are higher than the 'official' or controlled prices. In the second kind, prices are lower than the 'legitimate' or taxed prices, due to tax evasion
Pasar bebas ilegal yang tumbuh subur di suatu negara yang mana barang-barang konsumsi sangat langka atau mahal karena dikenakan pajak. Pada jenis pertama, harga pasar gelap (black market) bisa jadi lebih tinggi dari harga 'resmi' atau yang dikendalikan oleh otoritas ekonomi negara. Pada jenis kedua, harga jadi lebih rendah dari harga 'sah' atau yang dikenakan pajak, karena penggelapan pajak.” Kalau dari definisi diatas yang banyak terjadi di Indonesia itu ialah jenis black market yang kedua; yaitu barang illegal yang masuk ke dalam negeri dengan tanpa pembayaran pajak (bea). Yang awalnya barang itu mahal karena ada pajak yang dibayar, barang itu menjadi lebih murah bahkan sangat murah karena tidak terkena pajak.  Walaupun memang definisi ini tidak disepakati oleh semua, akan tetapi setidaknya definisi diatas itu memang yang banyak terjadi. Kabar yang banyak beredar di media itu juga kan walaupun redaksi berbeda, akan tetapi intinya sama. Yaitu penjualan barang illegal karena tidak melewati pembayaran pajak, artinya tidak melalui jalur yang sah, yang telah ditetapkan oleh suatu Negara.
Transaksi jual-beli barang black market (BM) mempunyai dampak negatif pada kondisi perekonomian pada suatu wilayah (negara). Hal ini dikarenakan, disamping barang BM tersebut masuk ke suatu wilayah tanpa terkena pajak (tax), barang BM juga termasuk kategori gharar, tidak jelas asal usulnya. Dalam perspektif hukum Islam, praktek transaksi jual-beli termasuk sesuatu yang dibolehkan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah [2]: 275. “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Ayat ini sesuangguhnya masih bersifat umum. Karena tidak semua model transaksi jual-beli yang dihalalkan dalam syariah Islam. Sehingga ada beberapa hadits Nabi Muhammad Saw yang men-takhsish ayat tersebut. Ditemukan beberapa hadits Nabi yang menjelaskan transaksi jual-beli yang masuk dalam kategori dilarang untuk dipraktekkan.
Beberapa transaksi jual-beli yang dilarang dalam Islam, diantaranya adalah ba’i al-gharar (jual-beli yang mengandung unsur ketidakjelasan (jahalah)), ba’i al-ma’dum (transaksi jual-beli yang obyek barangnya tidak ada), ba’i an-najash (jual-beli yang ada unsur penipuan), talaqi rukban (transaksi jual-beli yang menciptakan tidak lengkapnya informasi di pasar, karena penjualnya dihadang di tengah jalan), transaksi jual-beli pada obyek barang yang diharamkan, dll. Adapun praktek transaksi jual-beli barang BM termasuk dalam transaksi yang dilarang, karena beberapa sebab, di antaranya adalah:
Ø  , transaksi BM merupakan bentuk transaksi yang ilegal. Mengapa ilegal? Karena barang BM adalah barang yang statusnya tidak diakui di pasar. Karena masuknya ke pasar melalui selundupan, agar tidak kena bea cukai.
Ø  Kedua, transaksi jual-beli BM akan mengganggu keseimbangan pasar. Dalam hal ini, barang-barang BM yang telah beredar di pasar akan mempengaruhi harga barang sejenis yang dijual secara legal. Biasanya, barang yang berstatus BM akan dijual lebih murah, dibanding dengan barang yang memang statusnya diperoleh secara legal. Rasulullah Saw melarang bentuk transaksi yang berakibat pada terganggunya mekanisme pasar. Dari sisi penawaran (supply), kondisi harga pasar akan terganggu. Hal ini sama dengan model transaksi talaqi rukban yang dilarang untuk dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. Karena efeknya sama-sama mempengaruhi mekanisme pasar.
Ø  Ketiga, ajaran Islam memberikan panduan bagi umatnya untuk menggunakan barang atau produk yang halal. Produk BM termasuk dalam kategori produk yang tidak jelas (gharar) asal usulnya. Bisa jadi, produk BM berasal dari praktek yang dilarang dalam Islam, seperti hasil pencurian atau penipuan dll. Dalam hal ini, produk BM bisa kita kategorikan dalam transaksi yang gharar (tidak jelas) yang prakteknya dilarang dalam ajaran Islam. [1]

b.      Hukum Jual - Beli Melalui Black Market

Cakupan istilah pasar gelap ini cukup luas, selama perdagangan tersebut melanggar hukum dan dilakukan di luar jalur resmi, maka dapat disebut sebagai suatu pasar gelap. Misalnya, barang (telepon selular) yang diperdagangkan tersebut merupakan hasil pencurian, penyelundupan, atau tidak dilengkapi perizinan untuk dapat diperdagangkan, sehingga melanggar suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Dasar dari terjadinya jual beli adalah perjanjian jual beli. Salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) adalah adanya sebab yang halal yakni sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum (lihat Pasal 1337 KUHPer). Sehingga, jika telepon selular yang diperdagangkan itu diperoleh dari hasil pencurian, penyelundupan, penadahan atau diperoleh dengan cara-cara lain yang melanggar undang-undang, dapat dikatakan jual beli tersebut tidak resmi/tidak sah dan terhadap pelakunya dapat dijerat dengan pasal-pasal pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Selain itu, telepon selular termasuk produk telematika sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.: 19/M-DAG/PER/5/2009 (“Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009”). Definisi produk telematika menurut Pasal 1 angka 1 Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009 adalah sebagai berikut :
“Produk telematika adalah produk dari kelompok industri perangkat keras telekomunikasi dan pendukungnya, industri perangkat penyiaran dan pendukungnya, industri komputer dan peralatannya, industri perangkat lunak dan konten multimedia, industri kreatif teknologi informasi, dan komunikasi.”
Telepon selular, menurut ketentuan Lampiran I Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009, merupakan salah satu produk yang wajib dijual dengan disertai kartu jaminan/garansi purna jual dalam Bahasa Indonesia. Hal tersebut terkait juga pengaturan Pasal 2 ayat (1) Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009 yang menyatakan bahwa:
“Setiap produk telematika dan elektronika yang diproduksi dan/atau diimpor untuk diperdagangkan di pasar dalam negeri wajib dilengkapi dengan petunjuk penggunaan dan kartu jaminan (garansi purna jual) dalam Bahasa Indonesia.
Karena itu, terhadap penjual telepon selular yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) Permen 19/M-DAG/PER/5/2009 berlaku ketentuan Pasal 22 Permen 19/M-DAG/PER/5/2009 yang menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat [1], dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”).”
Jika kita melihat pada ketentuan UUPK, Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK menyatakan bahwa seorang pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Terhadap pelanggaran Pasal 8 UUK ini pelaku usaha dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar (lihat Pasal 62 ayat [1] UUPK). Maka, berdasarkan pengaturan Pasal 62 ayat [1] jo. Pasal 8 ayat (1) UUPK seorang penjual telepon selular yang tidak memberikan kartu garansi dan layanan purna jual dapat dikenai sanksi pidana. Lebih lanjut, mengenai penuntutan berdasarkan Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1).
Dari uraian di atas, dapat kiranya disimpulkan bahwa penjualan telepon selular di pasar gelap atau tanpa garansi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan adalah melanggar hukum.[2]






  http://zarkasih20.blogspot.com/2013/01/black-market-halal-atau-haram.html
[2] www.hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar